AJEG BALI : benteng kehidupan masyarakat
{Terranova Waksman: Antropolog UNPAD}
Jual Mobil Bekas di Bali,
berkwalitas Harga KREDIT Pasti Bersaing
Sekiranya Butuh Dana Cepat
*** 1 Hari Cair, Jaminan BPKB Mobil / Sertpikat di Dps-Bali
Proses Flexible, Take Over / Dana talang u/tebus BPKB/SHM di Bank
Ph. : 03617450725,08123600725,
081999915017,085738063409
YM: udiyanagede BBM: 21E202F0
http://www.kreditmobilbali.com
http://kreditmobil-bekas.blogspot.com
Beragam pendapat masyarakat Bali terhadap kondisi Bali yang sekarang terjadi akiabat pertubuhan pariwisata yang pesat. Sebagian beranggapan bahwa pariwisata merupakan “polusi kebudayaan” yang akan mengikis ke-Bali-an Bali, desakralisasi terhadap kebudayaan, di sisi lain penghasilan ekonomi utama pulau Bali berasal dari sektor pariwisata. Pengulangan-pengulangan terus terjadi hingga konsep “ajeg Bali” muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai respon terhadap perubahan yang mucul di masyarakat berkat kemajuan teknologi (termasuk pariwisata di dalamnya).
Istilah “ajeg” merujuk kepada pengertian stabil , tetap, dan konstan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) disebutkan bahwa “ajeg” atau “ajek” (Jawa) bermakna tetap; tidak berubah. Satu hal yang tetap dalam kebudayaan adalah perubahannya. Yang ingin dipertahanakan oleh masyarakat Bali adalah nilai, yaitu agama Hindu yang menjadi nafas kehidupan masyarakat Bali. Teknologi menyebabkan perubahan praktik dan perubahan kemasan, namun esensinya harus tetap bertahan.
Ajeg Bali meliputi berbagai hal di Bali, mulai dari sitem religi, ekonomi, seni-budaya, niaga, politik, lingkungan, politik, pendidikan, tata ruang, kependudukan, kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan hal-hal lain yang menyangkut cara hidup masyarakat. Dalam sistem persubakan, misalnya, dilakukan “sterilisasi” wilayah subak dari pembangunan perumahan untuk melestarikan kondisi ekologis sekitar subak. Sosialisasi budaya Bali, seperti membuat janur, ditanamkan semenjak kanak-kanak dan merupakan bentuk ajeg Bali. Hal ini saya temukan ketika melihat perlombaan membuat prasarana ibadah bagi anak-anak SD dan SMP di Tanah Lot. Yang membuat saya tercengang, pertama kali saya kenal konsep ajeg Bali dari artikel “Identitas Dalam Semangkuk Bakso” dalam majalah Playboy Indonesia edisi Juni 2006. Jika kita pahami, artikel tersebut bercerita soal resistensi orang Bali terhadap penguasaan orang Jawa terhadap perekonomian di Bali, ya..dengan berjualan bakso babi... Bahkan tersurat kalimat “Tujuannya untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budaya Bali... Kesadaran itu penting karena Bali yang identik dengan keindahan, kenyamanan, dan keharmonisan sudah mulai terusik... Tanah Bali yang merupakan bagaian dari tanah adat makin abnyak berpindah tangan...”. Jumlah pendatang (terutama dari Jawa) semakin menjadi ancaman, peluang kerja orang Jawa cukup banyak – sementara masyarakat Bali sibuk dengan banyaknya upacara, orang Jawa mengambil alih waktu-waktu tersebut di sektor ekonomi.
Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan dalam ajaran “Tri Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga konsep tersebut dalah Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam) (diambil dari makalah “Tri Hita Karana”, Dewa Nyoman Suardana, S.Ag, dalam seminar di Puri Agung Singaraja 21 Juni 2007). Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran, yaitu dalam tataran individu ; ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki keprcayaan diri kultural (cultural confidence) yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal semata. Kedua, dalam tataran lingkungan kultural ; ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultur, dan selektif terhadap pengaru-pengaruh luar. Terakhir, dalam tataran proses kultural; ajeg bali merupakan interaksi manusia dengan ruang hidup buadayanya guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat (tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun godaan dunia modern), non-dikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural, dan kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam. Dalam ketiga tataran tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah sebauah konsep yang stagnan, melainkan upaya pembaruan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bali untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budayanya agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global (diambil dari kumpulan artikel 55 tahun Bali Post, 2004).
Tradisi budaya Bali dianggap sebagai komoditas pariwisata yang menguntungkan, beberapa hal yang cukup mencuat adalah soal kesenian yang bersifat sakral akhirnya menjadi tontonan pariwisata yang profan semata. Sebelumnya harus dipisahkan soal “adat keagamaan” dan “adat kebiasaan”. Sayangnya keseluruhan hidup masyarakat Bali, termasuk adat kebiasaan, merupakan bentuk representasi dari agama Hindu, sehingga sulit sekali untuk membedakan sakral dan profan. Dalam tari-tarian, dapat dipisahkan secara jelas terdapat seni tari Wali yang sakral dan religius, seni tari Bebali adalah tarian seremonial, dan seni tari Balih-balihan yang sekuler, seperti tari joget yang saya tampilkan di Puri Agung Singaraja, Buleleng (diambil dari Picard, 2006:237). Perubahan tradisi yang terjadi, tidak dapat dikembalikan lagi. Tradisi bersifat irreversible yaitu tidak dapat dikembalikan lagi. Dalam Invented Tradition (1983), Eric Hobsbawm dan Terrence Ranger menyatakan bahwa tradisi yang sudah terjadi lama ternyata merupakan penemuan yang belu lama berselang, simbol yang muncul bukan berarti kesinambungan dari yang sudah ada, melainkan respon terhadap yang baru seringkali fiktif atau rekayasa. Masyarakat Bali terus berubah secara kreatif dan menciptakan tradisi-tradisi baru. Dalam pariwisata ditekankan agar kebutuhan pariwisat terlayani, sementara budaya lokal tetap bertahan. Namun, jika kita perhatikan, pada praktiknya masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya.
Jadi, apakah ajeg Bali merupakan sebuah cita-cita belaka? Kalau kita berpikir sederhana, selama ada canang (sesajen dari janur kelapa berisi bunga dan dupa), nilai-nilai agama hindu yang merupakan core of the culture, akan tetap bernafas tenang dalam kehidupan manusia Bali. {Terranova Waksman}